Kategori Ahkam : Hudud
Fikih Hudud
Allah Subhanahu wa Ta’ala al-Hâkim (Yang Maha Bijaksana) senantiasa
menjaga hak-hak manusia dan menjaga kehidupan mereka dari kezhaliman dan
kerusakan. Syariat Islam pun ditetapkan untuk menjaga dan memelihara
agama, jiwa, keturunan, akal dan harta yang merupakan adh-Dharûriyât
al-Khamsu (lima perkara mendesak pada kehidupan manusia). Sehingga
setiap orang yang melanggar salah satu masalah ini harus mendapatkan
hukuman yang ditetapkan Syari'at dan disesuaikan dengan pelanggaran
tersebut. Salah satunya adalah penegakan hudûd yang menjadi salah satu
keistimewaan ajaran Islam dan merupakan bentuk kesempurnaan rahmat dan
kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada makhluknya. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: hudûd berasal dari rahmat untuk
makhluk dan kebaikan mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang
yang menghukum manusia karena dosa-dosa mereka, bertujuan melakukannya
untuk kebaikan dan rahmat kepada mereka, sebagaimana tujuan orang tua
membina anak-anaknya dan dokter dalam mengobati orang yang sakit. Hudûd
adalah kosa kata dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk jamâ’ (plural)
dari kata had yang asal artinya pembatas antara dua benda. Dinamakan had
karena mencegah bersatunya sesuatu dengan yang lainnya.
Syariat Hukum Potong Tangan
Pernahkah mereka berpikir, bagaimanakah perasaan orang-orang yang
kehilangan harta mereka? Terlebih bila harta yang terambil adalah harta
yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun, kemudian disimpan ditempat
yang dianggap aman, ternyata hilang begitu cepat. Berpikirkah mereka,
bagaimana dahsyatnya efek jera yang akan memberi keamanan bagi
masyarakat luas setelahnya, dari hukuman potong tangan yang mereka
anggap sebagai pelanggar norma kehidupan mereka? Hak asasi siapakah yang
mereka perjuangkan? Dalam kasus pencurian ini, syariat Islam berusaha
menjaga kepentingan orang banyak daripada menjaga kepentingan si
pencuri. Memberi hukuman yang berat berupa memotong tangan bertujuan
membasmi sesuatu yang menjadikan kecemasan manusia pada harta mereka.
Sehingga Allah Azza wa Jalla menjadikannya sebagai cambuk untuk
mendapatkan maslahat yang lebih besar dibandingkan dengan kepentingan si
pencuri yang hanya sesaat dan banyak menimbulkan kerusakan. Ini adalah
hukuman yang setimpal yang penuh faedah dan hikmah. Bila seseorang mau
berpikir, hukuman setimpal bukan berarti menzhalimi si pelaku, tetapi
ini merupakan keadilan dalam peraturan Allah Azza wa Jalla yang pasti
baik bagi makhluk-Nya karena hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui segala
sesuatunya.
Hukum Diyat
Hukuman diyat disyari’atkan dalam syariat Islam berdasarkan dalil dari
al-Qur‘ân, Sunnah dan ijmâ’. Di antara dalil dari al-Qur‘ân adalah
firman Allah Azza wa Jalla : Maka barangsiapa yang mendapat suatu
permaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada
yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Ini berlaku untuk
pembunuhan disengaja Juga firman Allah Azza wa Jalla : Dan tidak pantas
bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin yang lain, kecuali karena
tersalah tidak sengaja. Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena
tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka
dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang
beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari
pada Allah. dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Hal
ini berhubungan dengan pembunuhan tidak disengaja dan mirip sengaja.
Qishash
Imam as-Syaukâni rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan menyatakan:
“Maknanya ialah kalian memiliki jaminan kelangsungan hidup dalam hukum
yang Allah Azza wa Jalla syariatkan ini; karena bila seseorang tahu akan
dibunuh secara qishâsh apabila ia membunuh orang lain, tentulah ia
tidak akan membunuh dan akan menahan diri dari meremehkan pembunuhan
serta terjerumus padanya. Sehingga hal itu sama seperti jaminan
kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Ini adalah satu bentuk sastra
(balâghah) yang tinggi dan kefasihan yang sempurna. Allah Azza wa Jalla
menjadikan qishâsh yang sebenarnya adalah kematian, sebagai jaminan
kelangsungan hidup, ditinjau dari efek yang timbul yaitu bisa mencegah
saling bunuh di antara manusia. Hal ini dalam rangka menjaga keberadaan
jiwa manusia dan kelangsungan kehidupan mereka. Allah Azza wa Jalla juga
menjelaskan ayat ini untuk ulul albâb (orang yang berakal); karena
merekalah orang yang memandang jauh ke depan dan berlindung dari bahaya
yang muncul kemudian. Sedangkan orang yang pandir, berfikiran pendek dan
gampang emosi; mereka tidak memandang akibat yang akan muncul dan tidak
berfikir tentang masa depannya.” Akibat sikap terburu-buru dan tidak
mengerti hakekat syariat yang ditetapkan Allah Azza wa Jalla, banyak
orang bahkan kaum Muslimin yang belum mau menerima atau bersimpati atas
penegakan qishâsh ini. Padahal pensyariatan qishâsh adalah kemaslahatan
bagi manusia.
Hukuman Untuk Pezina
Tidak dapat dipungkiri, meninggalkan syari’at islam akan menimbulkan
akibat buruk di dunia dan akhirat. Kaum muslimin jauh dari ajaran agama
mereka, menyebabkan mereka kehilangan kejayaan dan kemuliaan. Diantara
ajaran islam yang ditinggalkan dan dilupakan oleh kaum muslimin adalah
hukuman bagi pezina (Hadduz-Zinâ). Sebuah ketetapan yang sangat efektif
menghilangkan atau mengurangi masalah perzinahan. Ketika hukuman ini
tidak dilaksanakan, maka tentu akan menimbulkan dampak atau implikasi
buruk bagi pribadi dan masyarakat. Realita dewasa ini mestinya sudah
cukup menjadi pelajaran bagi kita untuk memahami dampak buruk ini.
Melihat realita ini, maka sangat perlu ada yang mengingatkan kaum
muslimin terhadap hukuman ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan
kesadaran dan menguatkan keyakinan mereka akan kemuliaan dan keindahan
syari’at islam. Pelaku zina ada yang berstatus telah menikah
(al-Muhshân) dan ada pula yang belum menikah (al-Bikr). Keduanya
memiliki hukuman berbeda. Hukuman pezina diawal islam berupa kurungan
bagi yang telah menikah dan ucapan kasar dan penghinaan kepada pezina
yang belum menikah (al-Bikr).
Fikih Jinayat
Dan tidaklah layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barangsiapa membunuh
seorang mumin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman serta membayar dia yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia
Mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang
Mukmin. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar
diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang Mukmin. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin
dengan sengaja, maka balasannnya ialah jahannam, ia kekal di dalamnya
dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang
besar baginya
Pembunuhan Dengan Sengaja
Dengan demikian, seorang dihukumi membunuh dengan sengaja apabila ia
mengetahui bahwa orang yang ia inginkan terbunuh adalah manusia dan
terlindungi jiwanya menurut syara’. Kesengajaan atau keinginan untuk
membunuh korban. Hal ini mencakup dua keinginan yaitu kesengajaan
membunuh (Qashdu al-Jinâyat) dan sengaja menjadikan terbunuh sebagai
korban (Qashdu al-majni ‘Alaihi). Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah
menyatakan: ‘Harus memenuhi dua jenis kesengajaan ini, seandainya tidak
ada niatan membunuh dengan menggerakkan senjata lalu senjatanya
terlempar (tidak sengaja) dan membunuh orang; maka tidak dikategorikan
membunuh dengan sengaja, karena ia tidak berniat membunuh. Juga
seandainya ia sengaja menembak sesuatu dan ternyata seorang manusia,
maka ini pun bukan sengaja, karena ia tidak sengaja (dan berencana)
membunuh orang yang terlindungi darahnya. Alat yang digunakan adalah
alat pembunuh baik senjata tajam atau yang lainnya. Ini termasuk rukun
pembunuhan dengan sengaja yang terpenting. Karena syarat kesengajaan
membunuh adalah perkara batin yang tidak mudah dibuktikan. Sehingga
dalam penetapan hukumnya kembali kepada alat yang digunakan, sebab itu
perkara nyata (fakta, dhahir-red).
Pembunuhan Mirip Disengaja
Dari sini, jelaslah garis pemisah antara keduanya, yaitu pada penggunaan
senjata, karena niat dan kesengajaan adalah perkara hati yang sulit
diketahui dengan pasti. Ibnu Rusyd rahimahullah dalam menjelaskan jenis
pembunuhan mirip sengaja ini menyatakan: “Siapa yang bermaksud memukul
seorang dengan alat atau senjata yang tidak membunuh, maka hukumnya ada
di antara pembunuhan disengaja dan pembunuhan tidak sengaja. Sehingga,
serupa dengan pembunuhan sengaja dari sisi niat dan tujuan memukul; dan
serupa dengan pembunuhan tidak sengaja dari sisi memukulnya dengan
sesuatu yang tidak membunuh”. Syeikh `Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah
menyatakan: “Kesamaan antara pembunuhan disengaja dengan pembunuhan
mirip sengaja adalah pada keinginan untuk mencelakakan korban.
Pembunuhan disengaja dikhususkan (dari mirip sengaja) dengan kesengajaan
mencelakkan korban dengan cara yang hampir dapat dipastikan membunuh
korban”.
Hukum Diyat Pada Jinayah Anggota Badan
Dalam tubuh manusia terdapat 45 anggota badan. Dari anggota itu ada yang
berjumlah satu, dan ada juga yang berjumlah sepasang atau berjumlah
lebih dari itu. Maka, setiap jenis anggota tersebut memiliki diyat yang
berbeda-beda. Adapun pembagiannya yaitu : Bagian tubuh yang berjumlah
tunggal seperti; lidah, hidung, dzakar atau kulup, Shulb/tulang belakang
(syaraf reproduksi), saluran kemih, rambut kepala, jenggot bila tidak
tumbuh lagi. Maka diyatnya utuh 100 ekor onta yaitu seperti diyat Nafs
(jiwa). Khusus untuk kasus hidung, maka diyatnya sempurna, dan hidung
terdiri dari tiga bagian, yaitu dua rongga dan satu pembatas rongga
hidung. Apabila kerusakan terjadi pada salah satu bagian tersebut, maka
diyatnya sepertiga. Anggota badan yang berpasangan (berjumlah dua)
seperti, mata, telinga, tangan, bibir, tulang geraham, kaki, puting
susu, pantat, biji dzakar, maka pada diyatnya utuh, dan pada salah
satunya diyatnya setengah. Kedua hal di atas berasal dari Sabda
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Pada hidung yang terpotong
diyatnya utuh, pada lidah diyatnya utuh, pada kedua bibir diyatnya utuh,
pada dua buah biji dzakar diyatnya utuh, pada batang kemaluan diyatnya
utuh, pada shulb (tulang syaraf reproduksi) diyatnya utuh, pada kedua
mata diyatnya utuh, dan pada satu kaki diyatnya setengah "
Pembunuhan Karena Keliru (Tidak Disengaja)
Berdasarkan definisi di atas para ahli fikih membagi pembunuhan karena
keliru (tidak sengaja) ini menjadi dua; kekeliruan dalam perbuatan dan
kekeliruan dalam niat kesengajaan. Yang pertama, seorang sengaja
menembak hewan buruan yang diperbolehkan untuk dibunuh dan telah
menempatkan senjatanya tepat pada sasarannya, namun lalu meleset
membunuh orang. Yang kedua, salah karena tidak tahu, seperti membunuh
orang yang diyakini boleh dibunuh (orang kafir) dan ternyata termasuk
yang dilarang. Contohnya seorang membunuh seorang di barisan kaum kafir,
kemudian ternyata jelas yang terbunuh adalah seorang Muslim. Kemudian
mereka memasukkan beberapa bentuk pembunuhan yang dianggap sama dengan
pembunuhan tanpa sengaja (al-Qatlu al-Ladzi Yajri Majra al-Khatha`).
Dinamakan demikian karena pembunuhan ini tanpa ada niatan membunuh dan
tidak juga mengarah kepada orang tertentu. Hal ini terjadi langsung ia
sebagai pelakunya atau pun tidak langsung. Contoh yang langsung adalah
orang yang tidur menindih bayi yang ada di sampingnya hingga
membunuhnya.
Hukum Rejam Bagi Pezina
Dari Abdullah bin ‘Abbas, dia berkata, Umar bin Al Khaththab berkata,
-sedangkan beliau duduk di atas mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam-, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam dengan membawa al haq, dan menurunkan Al Kitab (Al
Qur’an) kepadanya. Kemudian diantara yang diturunkan kepada beliau
adalah ayat rajam. Kita telah membacanya, menghafalnya, dan memahaminya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaksanakan (hukum)
rajam, kitapun telah melaksanakan (hukum) rajam setelah beliau (wafat).
Aku khawatir jika zaman telah berlalu lama terhadap manusia, akan ada
seseorang yang berkata, ‘Kita tidak dapati (hukum) rajam di dalam kitab
Allah’, sehingga mereka akan sesat dengan sebab meninggalkan satu
kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Sesungguhnya (hukum) rajam
benar-benar ada di dalam kitab Allah terhadap orang yang berzina,
padahal dia telah menikah, dari kalangan laki-laki dan wanita, jika
bukti telah tegak (nyata dengan empat saksi, red.), atau terbukti hamil,
atau pengakuan.” Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata dalam kitab
Duraril Bahiyyah,“Dan digalikan (liang) untuk orang yang dirajam sampai
dada.”
No comments:
Post a Comment